Dalam
karya lain Ibnu Hajar yang diberi judul “al-Fatawa al-Haditsiyah” halaman 86
menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama Ahlusunah seperti Abu Hasan
as-Subki dan puteranya Tajuddin, syeikh Imam ‘Izz bin Jamaah dan para ulama
Ahlusunah lain yang sezaman dengannya baik dari mazhab Syafi’iyah, Malikiyah
maupun Hanafiyah sebagai pembohong dan pribadi-pribadi buruk. Oleh sebab itu,
Ibnu Hajar dalam kitab tersebut mengatakan: “Dia (Ibnu Taimiyah) adalah hamba
yang dihinakan, disesatkan, dibutakan dan ditulikan oleh Allah…”.
Pandangan Ulama' Ahlussunnah Tentang Ibnu Taimiyah
Jika
kita menelaah asal-usul kemunculan Wahabisme niscaya kita akan dapati ada tiga
periode; kemunculan, kemandekan dan kejayaan. Kemunculan keyakinan ini berawal
dari Ibnu Taimiyah al-Harrani yang bercita-cita menghidupkan kembali metode
(manhaj) Salaf Saleh yang selama ini dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal,
namun Ibnu Taimiyah over dalam mengadopsi pemikiran Imam Ahmad sehingga ia
harus berbenturan dengan para ulama Ahlusunah wal Jamaah, bahkan dari pengikut
mazhab Hambali sekalipun. Sehingga imbas dari perbuatannya tersebut akhirnya ia
harus keluar masuk penjara akibat vonis para hakim (Qodhi) dari berbagai
mazhab, dan mati dalam keadaan terhina dan dihinakan di dalam penjara. (Lihat
pengakuan Ibnu Katsir –salah seorang murid Ibnu Taimiyah- dalam kitab
“al-Bidayah wa an-Nihayah” jilid 14 halaman 4 dan 52)
Masa
selanjutnya adalah masa kemandekan dimana masa ini lebih banyak diperankan oleh
murid-murid Ibnu Taimiyah, pemegang estafet keyakinan dan ajaran Ibnu Taimiyah
yang telah menyimpang dari Ahlusunah wal Jamaah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah
yang paling menonjol saat itu adalah Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Namun tentu ia tidak
dapat bergerak bebas sepeninggal gurunya, selain ia juga tidak sesembrono
gurunya yang ngobral pemikiran-pemikiran sesatnya ke khalayak. Atas dasar itu,
pada kala itu pemikiran Ibnu Taimiyah bisa dikatakan mengalami kemunduran yang
amat drastis.
Selang
beberapa abad kematian Ibnu Taimiyah muncul seorang bernama Muhammad bin Abdul
Wahab. Dialah yang menghidupkan kembali ajaran Ibnu Taimiyah yang sempat
mandek. Dengan dukungan Ibnu Saud (keluarga dinasi Saud) -yang disokong oleh
kolonial Inggris dalam melumpuhkan kabilah-kabilah Arab kala itu- Muhammad bin
Saud berhasil menjadikan ajarannya yang hasil pengembangan adopsi dari ajaran
Ibnu Taimiyah sebagai mazhab resmi wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Arab
Saudi. Semenjak itu, ajaran sesat dan menyesatkan itu lebih identik dengan
sebutan Wahaby, nisbah kepada ayahnya, Abdul Wahhab. Kenapa tidak disebut
Muhammadiyah? Pertama kali yang menakan kelompok itu dengan Wahhabiyah adalah
Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab seorang ulama mazhab Hambali yang mewarisi
ilmu ayahnya, saudara tua Muhammad bin Abdul Wahab. Ia dalam surat panjang yang
ditulis untuk menasehati adiknya (Muhammad bin Abdul Wahab) yang telah miliki
akidah menyimpang dari ajaran ulama Ahlusunah (termasuk mazhab Hambali) yang
kemudian karya tersebut dibukukan dan dicetak di Turkia dengan judul
“as-Showa’iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahhabiyah”. Jadi penamaan itu
bermula dari saudara tua Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri yang disebutkan
bahwa ia khawatir terjadi penyimpangan yang lebih dahsyat lagi jika kelompok
itu disebut Muhammadiyah, karena kesamaan nama dengan Muhammad bin Abdillah
Rasulullah saw. Namun anehnya, para pengikut Wahaby berusaha melakukan
pembenaran (Taujih) dengan menyatakan bahwa Wahhab adalah nama Allah, jadi itu
adalah sebutan penghormatan karena dinisbahkan kepada Allah. Selain itu tidak
sesuai dengan sebab-sebab sejarah penyebutan yang ada, toch mereka juga sering
marah jika dinyatakan sebagai “Wahhaby”. Ini merupakan bukti bahwa mereka tidak
suka disebut dengan Wahhaby yang terkesan negative. Terjadi paradoksi antara
pemikiran dan kenyataan dari penamaan mereka.
Di
sini akan kita sebutkan beberapa pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sesuai
dengan ajaran para Salaf Saleh dan mayoritas mutlak Ahlusunah wal Jamaah, namun
dia telah mengklaim bahwa semua pendapatnya itu atas akidah Salaf Saleh:
1-
Pengharaman Shalat dan doa di sisi kubur para wali Allah. (Lihat kitab karya
Ibnu Taimiyah yang berjudul “Majmu’ah ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman
60)
2-
Pengharaman ziarah kubur. (Lihat kitab Ibn Taimiyah yang berjudul “at-Tawassul
wa al-Wasilah” halaman 156)
3-
Pengharaman istighasah selain Allah. (Lihat kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul
“al-Hadiyatu as-Saniyah” halaman 40) Ditempat lain Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa barangsiapa yang mengatakan hal itu harus bertaubat dan jika tidak maka
ia layak untuk dibunuh. (Lihat kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Ziarat
al-Qubur” halaman 17-18)
4-
Pengharaman merayakan hari-hari besar keagamaan. (Lihat kitab karya Ibnu
Taimiyah yang berjudul “Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim” halaman 293-294)
5-
Pengharaman bersumpah dengan menyebut nama selain Allah. (Lihat kitab Ibnu
Taimiyah yang berjudul “Majmua’h ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman 17)
6-
Keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa Allah berbentuk (Tajsim) selayaknya manusia
(Anthropomorphis). (Lihat karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “al-Fatawa” jilid 5
halaman 192)
Ulama
Ahlusunah pertama yang megkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah
pelarangan ziarah kubur nabi dan para wali Allah adalah Muhammad bin Muhammad
bin Abu Bakar al-Akhna’I (wafat tahun 763 H) yang bermazhab Maliki (Malikiyah)
dalam sebuah risalah beliau yang berjudul “al-Maqol al-Mardhiyah fi ar-Raddi
‘ala Ibni Taimiyah” yang argumentasinya disandarkan kepada hadis-hadis sahih
dan dalil-dalil fikih. Namun dikarenakan keangkuhan dan kecongkakan Ibnu
Taimiyah yang merasa dirinya paling benar –persis seperti yang dialami oleh
kaum Wahaby sekarang ini- akhirnya ia menjawab karya syeikh al-Akhna’i tadi
dengan menulis sebuah risalah yang diberi judul “ar-Rad ‘ala an-Akhna’i”.
Jika
al-Akhna’i dari ulama Ahlusunah yang bermazhab Maliki, maka terdapat ulama lain
yang dari mazhab Syafi’iyah (pengikut Imam Syafi’i) yang juga turut menentang
pemikiran sesat Ibnu Taimiyah. Salah satunya adalah Taqiyuddin as-Subki
as-Syafi’i (wafat tahun 756 H) yang beliau menduduki kedudukan ketua Qadhi
(Qodhi al-Qudhat) di wilayah Syam (sekarang Syiria). Beliau mengarang sebuah
kitab yang diberi judul “Syifa’ul Asqom fi Ziyarat Khairil Anam”. Kitab itu
ditulis dengan argumentasi yang kuat untuk mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah
yang mengharamkan ziarah kubur Rasulullah saw. Sebegitu kuat dan menariknya
kitab tadi sehingga menarik perhatian Maula Ali al-Qory seorang ulama pakar
fikih yang bermazhab Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) yang akhirnya beliau
mensyarahi kitab as-Subki yang bermazhab Syafi’i. Kitab al-Qory tadi diberi
judul “Syarh Syifa’i al-Asqom”. Dalam kitab Thabaqot as-Syafi’iyah jilid 10
halaman 186 disebutkan bahwa as-Subki berkaitan dengan Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Sesungguhnya pemikirannya (Ibnu Taimiyah) tidak sesuai dengan
keyakinan mayoritas kaum muslimin dan ia telah menginovasi (membikin-bikin)
dalam hal asas-asas keyakinan dan menentang tonggak-tonggak Islam…maka ia telah
keluar dari pengikutan agama (al-Ittiba’) menuju mengada-ada agama (al-Ibtida’)
dan melakukan keanehan dari mayoritas kaum muslimin”.
Contoh
lain dari ulama Ahlusunah yang mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah adalah
Nuruddin Ali bin Abdullah as-Samhudi al-Mishri yang bermazhab Syafi’i (wafat
tahun 911 H). beliau yang erkenal dengan sebutan Syeikhul Islam di Madinah
telah mengarang kitab yang diberi judul “Wafa’ul Wafa’ bi Akhbar darul
Musthafa”. Dalam kitab yang pertama kali dicetak oleh negara Mesir pada tahun
1374 dengan cetakan empat jilid disebutkan secara detail pembahasan hadis-hadis
yang berkaitan dengan pahala ziarah kubur Nabi, peringatan maulud Nabi, tawassul,
istighatsah dan meminta syafa’at pasca kematian Rasul.
Ulama
Ahlusunah terkemuka lain yang juga sangat getol mengkritisi pendapat Ibnu
Taimiyah adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitsami (wafat tahun 973 H)
yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar al-Haitsami, seorang Syeikh
al-Islam kota Makkah dan mufti besar Hijaz (dataran Arab) yang telah mengarang
kitab yang diberi judul “al-Jauhar al-Munaddham fi Ziarah al-Kubur
al-Mukarram”. Dalam kitab tersebut Ibnu Hajar menjelaskan legalitas ziarah
kubur Rasul dengan menggunakan dalil-dalil yang kuat termasuk dalil ijma’
(konsensus) ulama Ahlusunah wal Jamaah. Dalam kitab tersebut selain Ibnu Hajar
menyebutkan dalil-dalilnya yang kuat, beliaupun menukil beberapa pendapat ulama
Ahlsunah lain tentang Ibnu Taimiyah. Salah satu yang beliau bawakan adalah
pendapat ‘Izz bin Jamaah yang mengatakan: “Dia (Ibnu Taimiyah) adalah lelaki
yang sesat dan pembohong. Semoga Allah mengazabnya karena kesesatan dan
kebohongannya dengan merasakan hidangan kehinaan di dunia sebelum merasakannya
di akherat”. Dalam karya lain Ibnu Hajar yang diberi judul “al-Fatawa
al-Haditsiyah” halaman 86 menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama
Ahlusunah seperti Abu Hasan as-Subki dan puteranya Tajuddin, syeikh Imam ‘Izz
bin Jamaah dan para ulama Ahlusunah lain yang sezaman dengannya baik dari
mazhab Syafi’iyah, Malikiyah maupun Hanafiyah sebagai pembohong dan
pribadi-pribadi buruk. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar dalam kitab tersebut
mengatakan: “Dia (Ibnu Taimiyah) adalah hamba yang dihinakan, disesatkan,
dibutakan dan ditulikan oleh Allah…”. ¬
Satu
lagi tokoh ulama Ahlusunah yang mengkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah.
Beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqolani (wafat tahun 852 H) pengarang kitab
“ad-Durar al-Kaminah”. Dalam kitab tersebut beliau banyak menjelaskan tentang
siapakah gerangan Ibnu Taimiyah beserta beberapa pemikirannya yang menyimpang.
Beliau menjelaskan bahwa dikarenakan Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang
bertentangan dengan keyakinan mayoritas kaum muslimin atas dasar itulah maka ia
sering dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh para ulama Ahlusunah dari mazhab
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah. Ibnu Taimiyah sering mengaku-ngaku sebagai
pengikut salah satu ajaran Ahlusunah. Bahkan terkadang ia mengaku sebagai pengikut
Syafi’i, terkadang ia mengaku sebagai pengikut Asy’ariyah dsn seterusnya,
padahal hal itu hanya sekedar pengakuan yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Dalam kitab tersebut pada jilid 1 halaman 154 Ibnu Hajar menukil pendapat
al-Hishni ad-Damsyiqi yang berkata untuk Ibnu Taimiyah dengan ungkapan: “Dia
adalah seorang Zindiq. Sesungguhnya keyakinannya adalah memuat ajaran
penghalalan darah dan harta (kelompok lain .red)”.
Dan
masih banyak lagi para ulama Ahlusunah dari berbagai mazhab yang menyatakan
akan kesesatan ajaran Ibnu Taimiyah. Atas dasar itulah akhirnya Ibnu Taimiyah
mendapat balasan setimpal di dunia sebelum mendapat siksa Allah di akherat
kelak. Ia mati di dalam penjara akibat ajaran-ajaran sesatnya. Namun, setelah
beberapa lama ajaran itu secara sembunyi-sembunyi disebarkan oleh pengikutnya
yang salah satunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah, setelah kedatangan Muhammad
bin Abdul Wahab ajaran Ibnu Taimiyah dimunculkan kembali dengan dukungan
keluarga Saud yang mendapat sokongan kolonial Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar